PDPMSRAGEN.OR.ID – kurang dari 2 Abad yang lalu tepatnya 28 Maret 1830, Magelang masih terasa hangat dalam suasana Lebaran. Di rumah Residen Kedu, Jenderal De Kock bersiap untuk menyambut (atau menipu) Pangeran Jawa yang bertempur 5th sampai membuat kosong kas Negeri Belanda.
seperti yang dituliskan Peter Carey, tak ada rasa curiga apalagi berpikir melakukan kekerasan dalam suasana lebaran. Diponegoro memenuhi undangan tak lebih sebagai tradisi Islam dan Budaya jawa setelah sebulan berpuasa. Gencatan senjata selama ramadhan yang dilakukan De Cock hanyalah tipuan belaka agar pasukan Diponegoro terlena.
seperti yang dituliskan Peter Carey, tak ada rasa curiga apalagi berpikir melakukan kekerasan dalam suasana lebaran. Diponegoro memenuhi undangan tak lebih sebagai tradisi Islam dan Budaya jawa setelah sebulan berpuasa. Gencatan senjata selama ramadhan yang dilakukan De Cock hanyalah tipuan belaka agar pasukan Diponegoro terlena.
Malang tak dapat terelakkan, Punakawan Jayasurata dan Banteng Wareng yang biasanya penuh canda kali ini tegang namun tetap siaga, Basah Mertonegoro pun menghunuskan kerisnya namun ditahan oleh Sang Pangeran. di luar perundingan telah siaga pasukan Perron dan Michiels jika terjadi perang besar.
Sambil menyeruput secangkir teh yang mulai dingin, Sang Pangeran pun menyerahkan semuanya pada takdir. ingin rasanya menebas leher Pembohong besar yang ada di depannya namun urung terlaksana.
Dalam babad Diponegoro, Sang Pangeran berkata: “Aku bisa saja membunuh Jenderal De Kock, tapi tidak ku lakukan. aku tak ingin mengotori jihad ini dan aku tidak mau ada kisah seorang mujahid menghianati musuhnya di meja perundingan sehingga menjadi buah tutur yang tidak baik di kemudian hari”.
Merujuk dari Khalifah Umar bin Khattab dan Salahuddin Al Ayyubi dalam penaklukan Jerusalem, juga Muhammad Alfatih dalam menguasai Konstantinopel, sejarah Islam dan juga Barat mencatat dengan cantik bagaimana para Panglima2 ini memuliakan musuhnya di perundingan.
Dalam babad Diponegoro, Sang Pangeran berkata: “Aku bisa saja membunuh Jenderal De Kock, tapi tidak ku lakukan. aku tak ingin mengotori jihad ini dan aku tidak mau ada kisah seorang mujahid menghianati musuhnya di meja perundingan sehingga menjadi buah tutur yang tidak baik di kemudian hari”.
Merujuk dari Khalifah Umar bin Khattab dan Salahuddin Al Ayyubi dalam penaklukan Jerusalem, juga Muhammad Alfatih dalam menguasai Konstantinopel, sejarah Islam dan juga Barat mencatat dengan cantik bagaimana para Panglima2 ini memuliakan musuhnya di perundingan.
Akhirnya sejarah mencatat seorang Jenderal berhasil mengakhiri Perang Jawa terbesar, namun sejarah juga mencatat seorang Pembohong dan Pecundang besar bernama Hendrik Merkus Baron De Kock.
“Pan Sansaya enget
mengkana tyas aji
lamun matenana Ingsung marang Jendral iki
nora becik temah ira,
dadi ngilangake kramaning nerpati
aprak mukamukan
pan rusuh pocapaneki
tan karuwan ingkang cidra”
(Babad Diponegoro, maskumambang bait 101,102)
mengkana tyas aji
lamun matenana Ingsung marang Jendral iki
nora becik temah ira,
dadi ngilangake kramaning nerpati
aprak mukamukan
pan rusuh pocapaneki
tan karuwan ingkang cidra”
(Babad Diponegoro, maskumambang bait 101,102)
——-
Fauzi Ichwani
Fauzi Ichwani
Leave a Reply